History of Anesthesiologists In Indonesia
Anestesiologi diajarkan sebagai salah satu topik dalam mata pelajaran Ilmu Bedah, dan tindakan anestesia umum dilakukan oleh para dokter asisten bedah (biasanya yang termuda) dan para co-asisten bagian bedah.
Perhatian utama ditujukan masih pada pembedahan, bukan pada anestesinya. Pada saat itu belum ada dokter yang mengkhususkan diri di bidang anestesi. Anestesi menjadi suatu ketrampilan yang harus dimiliki oleh dokter bedah atau dokter lain yang melakukan pembedahan. Di rumah sakit lain, terutama di luar Jawa, pelayanan anestesia umum diserahkan kepada tenaga paramedik yang dididik oleh dokter bedah yang bersangkutan.
Keadaan darurat dan perang pada masa pendudukan Jepang dan masa perjuangan kemerdekaan membuat anestesiologi tidak berkembang lebih jauh lagi. Para mahasiswa kedokteran pada waktu itu diikutsertakan dalam pemberian pelayanan di luar rumah sakit pendidikan dan kalau perlu di lapangan termasuk dalam memberikan pelayanan anestesia.
Sesudah PD II, dunia kedokteran mendapat pengaruh besar dari negara yang menang perang, seperti Inggris dan Amerika. Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tersebut. Pada permulaan kemerdekaan seorang dokter Belanda, bukan ahli bedah, bernama Reeser membawa ketrampilan melakukan anestesia umum modern ke Indonesia dengan cara endotrakeal dan mempergunakan mesin anestesia.
Kepala Bagian Bedah CBZ waktu itu, Prof. M. Soekarjo, menyadari betul bahwa kemajuan ilmu bedah pada khususnya dan ilmu yang melakukan pembedahan pada umumnya tidak akan maju seperti yang diharapkan kalau tidak ada asistennya yang bekerja sepenuhnya dalam bidang anestesiologi. Beliau mengirimkan asistennya yang termuda Dr. Mochamad Kelan Koesoemodipuro untuk mempelajari anestesiologi di Amerika selama tiga tahun, yaitu di University of Minnesota dan Gouvesnier Hospital New York. Meskipun awalnya Dr. Kelan menolak sampai 2 kali, namun akhirnya beliau setuju untuk berangkat.
Sekembalinya di Indonesia pada tahun 1954, Dr. Kelan menghadapi berbagai masalah. Setelah belajar di Amerika selama tiga tahun dengan alat yang lengkap dan obat modern, Dr. Kelan harus kembali ke Indonesia untuk kembali bekerja dengan obat yang sangat terbatas dan alat yang tidak lengkap. Masalah tenaga kerja juga menjadi persoalan, karena sejak adanya Seksi Anestesi di Bagian Bedah, maka pekerjaan yang berhubungan dengan anestesia hanya dilakukan oleh mereka yang bertugas pada seksi itu saja termasuk tugas pendidikan anestesiologi. Namun dengan berbagai kendala tersebut, Dr. Kelan dan Dr. Oentoeng Kartodisono tetap berusaha merintis dan mengembangkan anestesiologi di Indonesia.
Perkembangan anestesiologi di Indonesia telah dimulai sebelum jaman Perang Dunia II. Pada masa itu, di waktu pendudukan Belanda, anestesiologi mulai diajarkan di CBZ (Central Bugerlijk Ziekenhuis), sekarang dikenal sebagai RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) yang dipergunakan sebagai RS pendidikan.
Dalam era tahun 1960-an, dokter-dokter dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Medan dan belakangan Ujung Pandang serta rumah sakit lain di Jakarta datang ke RSCM untuk mempelajari anestesiologi. Kebanyakan dokter anestesiologi yang dididik di Indonesia juga diberi kesempatan menambah pengetahuan ke luar negeri yaitu ke Amerika, Belanda, Inggris, Denmark, Swedia, Jepang dan Australia. Sekembalinya di Indonesia mereka disebarkan ke beberapa rumah sakit besar di Jawa, Dr. Sadono ke RS Gatot Subroto, Dr. Haditopo ke Semarang dan Dr. Zuchradi ke Bandung.
Lambat laun Seksi Anestesiologi Bagian Bedah RSCM berkembang menjadi pengawas dan akhirnya pelaksana dari seluruh pelayanan anestesia di RSCM. Pada tahun 1964, atas persetujuan bagian-bagian yang melakukan pembedahan, oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan pimpinan rumah sakit Cipto Mangunkusumo, didirikanlah Bagian Anestesiologi tersendiri lepas dari bagian Bedah dengan tugas menangani segala hal yang berhubungan dengan anestesiologi baik yang bersifat pendidikan maupun pelayanan umum. Pada waktu itu staf Bagian Anestesiologi baru berjumlah 7 orang.
Pada era 1970-an adalah masa kebangkitan anestesiologi di Indonesia. Pelayanan anestesiologi mulai dilakukan oleh dokter ahli. Pada tahun 1973 dr. Moch Kelan dikukuhkan menjadi Guru Besar Anestesiologi yang pertama di Indonesia.
Unit Terapi Intensif RSCM berdiri tahun 1971 dan menjadi yang pertama di Indonesia dengan Dr. Muhardi menjadi Kepala Unit Terapi Intensif FKUI/RSCM yang pertama. Beliau dikukuhkan menjadi guru besar FKUI pada tahun 1991. Sejak saat itu Terapi Intensif sebagai bagian dari anestesiologi berkembang dengan pesatnya. Dokter-dokter yang menekuni terapi intensif seperti Dr. Suroso, Dr. Indro Mulyono, Dr. Sudarsono, Dr. Kristanto Sulistyo dan Dr. Said A. Latief dikirim untuk memperdalam ilmunya di Melbourne, Australia.
Resusitasi Jantung Paru sebagai bagian yang tak terpisahkan dari anestesiologi juga mulai berkembang. Dr. Sunatrio, Dr. Jusrafli dan Dr. Y.A. Kasim adalah perintis pengenalan resusitasi jantung paru pada orang awam. Menyadari pentingnya pendidikan resusitasi jantung paru bagi para calon dokter, membuat Konsorsium Ilmu Kedokteran memutuskan memasukan anestesiologi ke dalam kurikulum inti pendidikan dokter pada tahun 1980.
Subbagian lainnya seperti Anestesia Bedah Paru, Anestesia Bedah Jantung, Anestesia Regional, Anestesia Bedah Syaraf, Anestesia Pediatrik dan lainnya juga berkembang pesat. Anestesia Bedah Paru diperkenalkan oleh Dr. M. Roesli Thaib, yang kelak menjadi Guru Besar Anestesiologi FKUI. Beberapa tahun terakhir ini dalam ilmu Anestesiologi dan Reanimasi mulai dikembangkan pengelolaan pasien gawat darurat, klinik pengelolaan nyeri dan Detoksifikasi Opiat Cepat dengan Anestesia.
Pada tanggal 1 Juni 1967 berdirilah Ikatan Ahli Anestesiologi Indonesia (IAAI) sebagai organisasi yang mempersatukan seluruh ahli anestesiologi di Indonesia. Awalnya hanya memiliki 4 cabang, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Kongres Nasional (KONAS) IAAI kedua di Bandung tahun 1988, nama IAAI diubah menjadi Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (IDSAI) dan pada KONAS IDSAI kelima di Yogyakarta tahun 1998, nama organisasi diubah lagi menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi, dengan singkatan tetap IDSAI. Saat ini IDSAI telah memiliki 12 cabang, dan Solo merupakan cabang termuda yang telah dikukuhkan dalam KONAS IDSAI keenam di Jakarta tahun 2001.
Anestesiologi di Indonesia dalam usianya yang relatif masih muda telah berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu cabang ilmu dan spesialisasi yang sangat dibutuhkan pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Semuanya tidak terlepas dari jasa para perintis yang telah memberikan jerih payahnya bagi perkembangan anestesiologi di negeri ini. Terima kasih yang tulus dari kita semua.